Skip to main content

Featured

Lebih Sungguh

Setahun berlalu setelah terakhir aku menulis tentangmu disini,  _______ dan entah bagaimana, semuanya masih terasa sama,  hanya saja kali ini lebih tenang, lebih aman, dan lebih... nyata? Teringat dengan kalimat indahku dulu, tentang betapa aku ingin mencintaimu dengan seribu cara yang ku bisa. Kini aku tahu bahwa, aku tak perlu sekeras itu, karena begitu saja.... dicintaimu, Dalam diam aku menemukan ketenangan, dan dalam segala tawa dan banyaknya suara aku menemukan kehangatan, kadang dalam tangis dan marahpun, itu tak apa, asal kamu ada disampingku, begitu, Entah, ada rasa teduh? yang bisa saja ku rasakan namun tak dapat ku jelaskan,  Sejujurnya baik aku maupun kamu, tidak tahu bagaimana takdir bekerja, namun jika memang perjalanan ini membawaku padamu, [ biarlah semesta mengizinkan aku untuk berhenti di kamu, dengan restu Tuhan kita juga kedua orangtua..... (aaamiiin) ] Karena di dunia yang selalu berubah,  aku ingin satu yang tetap, pada cinta ini, pada cinta yan...

1 KESEMPATAN

NB: Ini cerpen pertama yang saya post di blog! semoga kalian suka<3
no copyright!


1 Kesempatan
Persahabatan kita bukan diukir diatas pasir,
Yang Akan hilang tertelan ombak.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas kayu
Yang nantinya akan termakan oleh Rayap.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas batu
Yang nantinya akan mengalami pelapukan.
Tapi Persahabatan kita adalah setiap kamu menghembuskan nafasmu
Dan menariknya kembali, saat kamu merasakan Hangatnya udara yang memasuki tubuhmu
Saat udara itu menggelitik pori-porimu dan rasa itu tidak akan ada habisnya.
Dan aku akan menyayangimu seperti udara,
Yang tidak akan tertelan ombak, temakan rayap, atau mengalami pelapukan.
Itu berarti selama-lamanya. Kamu indah, selalu indah.
Dan memang itu adanya.

Ia menangis sejadi-jadinya setelah jasad seorang yang telah dibungkus oleh kain putih masuk kedalam perisitirahatan terakhirnya. Akhirnya rumah yang selama ini ia tidak pernah nantikan menghampiri dengan sendirinya, dibawah matahari yang tidak menyengat dan angin pagi yang sejuk menusuk lapisan kulit terluarnya, ia rasakan embun pagi yang kian membasahi dedaunan di pohon sekelilingnya. Sesekali ia merubah posisi berdirinya, berusaha untuk mempercayai hatinya bahwa ini hanya mimpi, mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata. Sesaat dia bisa mempercayai keyakinan hatinya itu, tapi setelah semua orang telah pergi meninggalkan liang itu, dia hanya bisa duduk sambil memeluk nisan, mengeluarkan seluruh air mata yang tersimpan, berharap tidak ada satupun orang yang melihat. Menyesal dengan segala yang telah ia perbuat dan menyia-nyiakan kesempatan yang telah ia dapatkan. Kesempatan membalas perbuatan baiknya, Kesempatan untuk membuatnya tersenyum lebih lama, dan kesempatan untuk menyayanginya, lebih dari seorang teman.
“Al..”
***
            Aku adalah seorang pemimpi yang selalu berusaha keras untuk menggapai cita-citaku. Karena aku ingin mengisi hidupku dengan semua rencana yang telah kubuat kedepannya, semua rencana dan aturan itu aku sembunyikan rapat-rapat di sebuah tempat dimana aku yakin tidak seorangpun mengetahuinya.   

“Aldo balikin!” Perintah ku sambil terus berlari mengejar Aldo. Memang selalu begini setiap minggu ketiga selama 2 tahun ini, dimana redaksi majalah remaja menolak karya ku  untuk yang kesekian kalinya. Setiap bulan aku selalu mengirim sebuah cerpen ke sebuah majalah, pengumuman pemenangnya akan diumumkan di minggu ketiga.
             “Aliya Mentari, maaf kamu belum beruntung. Mungkin dilain waktu, terima kasih sudah mengirimkan cerita mu. Hadiah akan dikirim kerumah mu—“ Omongan Aldo kupotong, ia sedang membacakan penolakan dari penerbit itu. 
“Biarin aja, sini itu punya gue” Jelas ku, sambil menarik majalah itu dari tangan Aldo, ia masih mentertawakan ku.
Ardhian Aldo. Nama yang cukup singkat untuk dihafal. Ia musuh bebuyutanku sejak smp, entah kenapa aku selalu mendapat kesialan untuk sekelas dengannya kembali dan ini sudah tahun ke 4 aku bersamanya itu artinya sudah sejak kelas 2 smp. Berulang kali aku menghindarinya, tapi entah kenapa dia terus berada didekatku. Dan anehnya aku tidak pernah akur dengannya dan dia selalu mentertawakan ku, kalau cerpen ku ditolak oleh redaksi. Ia selalu berkata bahwa aku tidak bisa menulis atau ceritaku pasaran, padahal ia belum pernah membaca cerpenku, bahkan ia belum mengetahui judulnya. Dan lebih anehnya lagi, aku terlalu sulit untuk membencinya, entah mengapa.
            “Makanya kalo buat cerita jangan pasaran, pembaca jadi males bacanya. Apalagi kalau mereka tau yang buat itu elo” Ledeknya kembali. Aku hanya menutup kedua telingaku dan segera pergi.
*
            Sore yang mendung, air bekas hujan tadi siang masih menggenangi aspal setinggi mata kaki. Titik-titik air itu juga masih membasahi daun, udara sejuk mengahampiri tubuhku. Sungguh tenang. Ditambah lagi saat aku menghirup Oksigen yang masuk memenuhi paru-paruku, ku kayuh sepeda lipatku menuju taman komplek. Aku memang selalu seperti ini disaat sabtu sore, duduk ditaman sambil melukis atau membuat puisi disana. Bisa dibilang mencari inspirasi untuk referensi tulisanku. Ku dengar tawa anak kecil yang sedang bermain bola, mereka bertelanjang kaki agar kaki mereka terkena lumpur yang ada di lapangan itu. Ini sempurna.
            “Ali!” Begitu caranya memanggil namaku. Suara berat yang menjadi cirikhasnya  selalu membuat ku terkejut. Aku hanya menoleh kearahnya yang siap memegang bola basket bersama Dodi, teman baiknya dan beberapa temannya yang lain. Dan setelah itu tidak kudengar lagi suaranya secara jelas, yang kudengar hanya suara hentakan bola basket dan suara berat dengan teriakan anak-anak kecil yang bermain sepak bola. Taman di komplek ku memang cukup besar, disana disediakan lapangan olahraga. Tepat disebelah lapangan bola basket terdapat danau buatan, banyak anak-anak kecil yang bermain dengan menangkap lalat dan mengurungnya di gelas plastik air mineral. Di sekitarnya terdapat bangku-bangku taman, yang terdapat pedagang kaki lima yang menjual dagangan mereka. Sangat indah. Aku duduk tepat didepan lapangan bola basket, sesekali aku menoleh ke arah Aldo. Ku lihat caranya memainkan bola itu dengan sangat mudah memasukkannya kedalam ring. Dulu,aku sering bermain basket dan sepak bola bersama Aldo dan teman-temannya, tapi setelah aku mengenal dunia tulis-menulis aku mulai meninggalkan kebiasaan lamaku.
Ku lihat jarum jam sudah menunjukan pukul 5 sore, aku segera merapihkan alat tulis juga buku dan memasukkannya kedalam tas kecilku yang segera ku gantung di stir sepeda. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang dan ku yakin itu Aldo. “Ali”. Iya, Itu benar dia. “Apa?” Jawabku. Untuk pertama kalinya aku tidak dapat menahan rasa senangku saat ini.
            “Minggir, gue yang bawa”. Katanya sambil mendorong pelan tubuhku, agar aku segera menyingkir dari hadapannya. Ia tengah siap menaiki sepedaku. Entah kenapa saat itu aku tidak bisa menolaknya, aku hanya mengangguk seolah aku bonekanya. Dan segera menaiki jalu yang ada disepedaku. Ia mengantarku pulang. Dan itu menjadi hari yang indah dalam hidupku. Sangat indah. Iya, aku tidak dapat membencinya.
*
            Sudah genap 2 bulan semenjak itu, pertengkaran ku dan Aldo sudah tak terdengar lagi. Bahkan ia sudah bersikap sangat baik kepadaku. Dan aku berharap ini akan berkelanjutan terus menerus, sampai akhirnya ‘hari itu terjadi’. Entah mungkin aku berharap lebih darinya, yang jelas aku senang dengan Aldo yang sekarang. Pagi ini aku mendapati penolakan kembali dari majalah itu, dan sudah kedua kalinya dengan ini Aldo tidak meledekku, teman-teman dikelas juga bingung melihat tingkah laku kami,bahkan kami sempat dituduh berpacaran.
            “Gimana Al, ditolak lagi?” Sahut Aldo yang tiba-tiba menghampiriku. Aku menggeleng melas, “Udah gakusah dipikirin mereka aja yang enggak ngerti seni”. Aku tersenyum lebar mendengarnya. Aku tak mengerti kenapa dia jadi seperti ini, padahal ia tak pernah membaca cerpenku.
            Sepulang sekolah, aku segera berlari ke taman dan menaruh kertas penolakan itu ditempat rahasiaku. Tempat itu dimana aku menyimpan kumpulan cerpen yang ditolak, bahkan segala rencana dan aturan yang aku buat,dimana semua orang tidak mungkin mengetahuinya. Menurutku tempatnya cukup strategis, dibawah pohon besar yang banyak semak-semak tinggi, disitu aku simpan rapih disebuah kotak musik yang sudah rusak. Hampir setiap minggu kotak itu penuh dengan kertas-kertas putih yang bertumpuk rapih, hasil karyaku semua, tapi entah mengapa akhir-akhir ini tumpukan kertas itu menjadi banyak, hampir setiap minggu bertambah tiga. Untuk sementara aku tidak bisa memikirkan darimana datangnya semua kertas itu, tapi sudahlah mungkin aku lupa. Masih banyak hal yang mesti aku kerjakan dibanding memikirkan hal yang tidak lebih penting dari masalah hidupku sekarang.
*
            Matahari seperti tepat berada diatas kepalaku, aku segera menegak habis es teh manisku, sejak 2 bulan terakhir ini, aku selalu pulang bersama Aldo menaiki motor mathic hitam miliknya. Dan sudah tidak diragukan lagi perasaanku padanya, Aku sangat menyayanginya, bahkan lebih dari seorang teman. Bahkan aku meralat ulang semua cerpen ku menjadi tentangnya, tentang Aldo. 
            “Al, itu apa di tangan lo?” Kata Aldo seketika menarik sebuah binder bertuliskan ‘YOU’ berwarna hitam. Tanpa mendengar jawabanku, ia segera menariknya dan membuka halaman pertama. “Sejak kapam lo punya binder...” Katanya, sambil sibuk membaca... Astaga! Cerpen ku, tentang dia!.
            “Aldo, jangan dibaca. Please,” Aku berusaha menggapai tangan Aldo, bodoh memang. Aku belum mengganti nama tokoh si ‘Aldo’ menjadi nama orang lain. Aku berusaha menggapai binderku dari tangannya, tapi tubuhnya yang lebih besar dari ku yang membuatku tak sanggup menggapainya lagi, aku hanya bisa pasrah dan menunggu Aldo mengejekku habis-habisan, atau mungkin dia akan berkata ‘bagus banget!’ karena terdapat nama dia dalam cerita, aku tidak habis pikir.
Setelah beberapa menit, akhirnya Aldo menyudahinya. Ia segera memberi ku kembali binder itu, tanpa mengatakan apapun, seketika wajahnya yang tadinya ceria mungkin dia yang tadinya akan bersiap mengejekku menjadi berubah 100%, tatapannya menjadi kosong dan raut wajahnya seperti sangat tidak suka.
            “Tapi gue nggak sayang sama lo al”
7 kata yang membuatku menjauhi kehidupanku sendiri, menjauhi hobi menulisku.
7 Kata yang membuatku benar-benar menjauhi kehidupannya.
7 Kata yang membuatku tidak pernah berbicara lagi dengannya.
7 Kata yang membuatku sangat membencinya.
*
            “Al..” Pria bertubuh kurus tinggi menghampiri seorang gadis yang menangis memeluk sebuah batu nisan. Ia tidak menyangka bahwa ‘hari itu terjadi’.
            “Ya, ada apa dod?” Balasnya sambil mengelap airmatanya yang sudah sangat lengket di wajah kuning langsatnya itu.
            “Kamu jangan pernah benci Aldo ya, aldo waktu itu sedih waktu selama 1 bulan dia sakit, kamu gak pernah jenguk. Kamu pasti kaget ngeliat tumpukan kertas di kotak musik jadi banyak, itu Aldo yang membalas semua cerpen kamu. Dia sayang kamu al, dia emang udah bertindak bodoh saat itu. Tapi dia lakuin itu biar kamu sadar dan terus berusaha untuk membuat tulisan kamu semakin bagus.Sampai akhirnya tulisanmu terbit juga Al. Aldo adalah satu-satunya orang yang tau tempat rahasia kamu, makanya ia terkadang suka mengkritik tulisan kamu dan segalanya. Jangan benci aldo al, Biarkan ia tenang melihat kamu baik-baik saja, biarkan ia tersenyum melihat mu mengatakan bahwa kamu juga sayang dengannya, sayang melebihi seorang teman”
“M-m-maksud k-kamu?” Aliya terbata-bata, lanjutnya “Tap-tapi Aldo pernah bilang kalau ia tidak menyayangi ku”
Dodi memegang bahu Aliya lembut, teman terbaik Aldo saat itu akhirnya melepas air matanya yang tepat mengalir diujung matanya yang bulat itu, “Apa gunanya bilang ‘aku sayang kamu’ tapi kamu tau kalau waktumu sangat sebentar untuk menghabiskan waktu bersama orang yang kamu sayang? Apa gunanya bilang ‘aku sayang kamu’ dan membuat orang itu sangat menyayangimu namun pada akhirnya menjatuhkan mu dengan kematiannya?” Pria itu segera berdiri memberikan sebuah kotak musik berwarna merah muda yang telah rusak, tanpa berkata lagi dan pergi meninggalkan Aliya.
Kini perempuan itu memeluk kedua kakinya diatas tumpukan tanah yang kemudian basah, karena hujan mulai turun dengan sangat deras. Ia menangis sejadi-jadinya, sambil membuka secarik kertas berwarna merah, yang ternyata terselip ditengah-tengah kertas-kertas putih yang mulai menguning.

Persahabatan kita bukan diukir diatas pasir,
Yang Akan hilang tertelan ombak.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas kayu
Yang nantinya akan termakan oleh Rayap.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas batu
Yang nantinya akan mengalami pelapukan.
Tapi Persahabatan kita adalah setiap kamu menghembuskan nafasmu
Dan menariknya kembali, saat kamu merasakan Hangatnya udara yang memasuki tubuhmu
Saat udara itu menggelitik pori-porimu dan rasa itu tidak akan ada habisnya.
Dan aku akan menyayangimu seperti udara,
Yang tidak akan tertelan ombak, temakan rayap, atau mengalami pelapukan.
Itu berarti selama-lamanya. Kamu indah, selalu indah.
Dan memang itu adanya.
Maafkan aku atas segala kebodohan yang pernah aku lakukan padamu, karena pasti kamu tahu aku tidak benar-benar mau melakukan itu.
Aku menyayangi mu Aliya, terimakasih telah bertemu dengan ku dengan senyuman dan aku harap kamu akan berpisah dengan ku dengan senyuman pula.
***


Comments

Popular Posts