NB: Ini cerpen pertama yang saya post di blog! semoga kalian suka<3
no copyright!
1 Kesempatan
Persahabatan kita bukan diukir diatas pasir,
Yang Akan hilang tertelan ombak.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas kayu
Yang nantinya akan termakan oleh Rayap.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas batu
Yang nantinya akan mengalami pelapukan.
Tapi Persahabatan kita adalah setiap kamu
menghembuskan nafasmu
Dan menariknya kembali, saat kamu merasakan
Hangatnya udara yang memasuki tubuhmu
Saat udara itu menggelitik pori-porimu dan rasa itu tidak
akan ada habisnya.
Dan aku akan menyayangimu seperti udara,
Yang tidak akan tertelan ombak, temakan rayap, atau
mengalami pelapukan.
Itu berarti selama-lamanya. Kamu indah, selalu
indah.
Dan memang itu adanya.
Ia
menangis sejadi-jadinya setelah jasad seorang yang telah dibungkus oleh kain
putih masuk kedalam perisitirahatan terakhirnya. Akhirnya rumah yang selama ini
ia tidak pernah nantikan menghampiri dengan sendirinya, dibawah matahari yang
tidak menyengat dan angin pagi yang sejuk menusuk lapisan kulit terluarnya, ia
rasakan embun pagi yang kian membasahi dedaunan di pohon sekelilingnya. Sesekali
ia merubah posisi berdirinya, berusaha untuk mempercayai hatinya bahwa ini
hanya mimpi, mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata. Sesaat dia bisa
mempercayai keyakinan hatinya itu, tapi setelah semua orang telah pergi
meninggalkan liang itu, dia hanya bisa duduk sambil memeluk nisan, mengeluarkan
seluruh air mata yang tersimpan, berharap tidak ada satupun orang yang melihat.
Menyesal dengan segala yang telah ia perbuat dan menyia-nyiakan kesempatan yang
telah ia dapatkan. Kesempatan membalas perbuatan baiknya, Kesempatan untuk
membuatnya tersenyum lebih lama, dan kesempatan untuk menyayanginya, lebih dari
seorang teman.
“Al..”
***
Aku
adalah seorang pemimpi yang selalu berusaha keras untuk menggapai cita-citaku.
Karena aku ingin mengisi hidupku dengan semua rencana yang telah kubuat
kedepannya, semua rencana dan aturan itu aku sembunyikan rapat-rapat di sebuah
tempat dimana aku yakin tidak seorangpun mengetahuinya.
“Aldo
balikin!” Perintah ku sambil terus berlari mengejar Aldo. Memang selalu begini
setiap minggu ketiga selama 2 tahun ini, dimana redaksi majalah remaja menolak
karya ku untuk yang kesekian kalinya.
Setiap bulan aku selalu mengirim sebuah cerpen ke sebuah majalah, pengumuman
pemenangnya akan diumumkan di minggu ketiga.
“Aliya Mentari, maaf kamu belum beruntung.
Mungkin dilain waktu, terima kasih sudah mengirimkan cerita mu. Hadiah akan
dikirim kerumah mu—“ Omongan Aldo kupotong, ia sedang membacakan penolakan dari
penerbit itu.
“Biarin
aja, sini itu punya gue” Jelas ku, sambil menarik majalah itu dari tangan Aldo,
ia masih mentertawakan ku.
Ardhian Aldo.
Nama yang cukup singkat untuk dihafal. Ia musuh bebuyutanku sejak smp, entah
kenapa aku selalu mendapat kesialan untuk sekelas dengannya kembali dan ini
sudah tahun ke 4 aku bersamanya itu artinya sudah sejak kelas 2 smp. Berulang
kali aku menghindarinya, tapi entah kenapa dia terus berada didekatku. Dan
anehnya aku tidak pernah akur dengannya dan dia selalu mentertawakan ku, kalau
cerpen ku ditolak oleh redaksi. Ia selalu berkata bahwa aku tidak bisa menulis
atau ceritaku pasaran, padahal ia belum pernah membaca cerpenku, bahkan ia
belum mengetahui judulnya. Dan lebih anehnya lagi, aku terlalu sulit untuk
membencinya, entah mengapa.
“Makanya kalo buat cerita jangan
pasaran, pembaca jadi males bacanya. Apalagi kalau mereka tau yang buat itu elo”
Ledeknya kembali. Aku hanya menutup kedua telingaku dan segera pergi.
*
Sore yang mendung, air bekas hujan
tadi siang masih menggenangi aspal setinggi mata kaki. Titik-titik air itu juga
masih membasahi daun, udara sejuk mengahampiri tubuhku. Sungguh tenang.
Ditambah lagi saat aku menghirup Oksigen yang masuk memenuhi paru-paruku, ku
kayuh sepeda lipatku menuju taman komplek. Aku memang selalu seperti ini disaat
sabtu sore, duduk ditaman sambil melukis atau membuat puisi disana. Bisa
dibilang mencari inspirasi untuk referensi tulisanku. Ku dengar tawa anak kecil
yang sedang bermain bola, mereka bertelanjang kaki agar kaki mereka terkena
lumpur yang ada di lapangan itu. Ini sempurna.
“Ali!” Begitu caranya memanggil
namaku. Suara berat yang menjadi cirikhasnya selalu membuat ku terkejut. Aku hanya menoleh
kearahnya yang siap memegang bola basket bersama Dodi, teman baiknya dan beberapa
temannya yang lain. Dan setelah itu tidak kudengar lagi suaranya secara jelas,
yang kudengar hanya suara hentakan bola basket dan suara berat dengan teriakan
anak-anak kecil yang bermain sepak bola. Taman di komplek ku memang cukup
besar, disana disediakan lapangan olahraga. Tepat disebelah lapangan bola
basket terdapat danau buatan, banyak anak-anak kecil yang bermain dengan
menangkap lalat dan mengurungnya di gelas plastik air mineral. Di sekitarnya terdapat
bangku-bangku taman, yang terdapat pedagang kaki lima yang menjual dagangan
mereka. Sangat indah. Aku duduk tepat didepan lapangan bola basket, sesekali
aku menoleh ke arah Aldo. Ku lihat caranya memainkan bola itu dengan sangat
mudah memasukkannya kedalam ring. Dulu,aku sering bermain basket dan sepak bola
bersama Aldo dan teman-temannya, tapi setelah aku mengenal dunia tulis-menulis
aku mulai meninggalkan kebiasaan lamaku.
Ku lihat jarum
jam sudah menunjukan pukul 5 sore, aku segera merapihkan alat tulis juga buku
dan memasukkannya kedalam tas kecilku yang segera ku gantung di stir sepeda.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang dan ku yakin itu Aldo. “Ali”. Iya,
Itu benar dia. “Apa?” Jawabku. Untuk pertama kalinya aku tidak dapat menahan rasa
senangku saat ini.
“Minggir, gue yang bawa”. Katanya
sambil mendorong pelan tubuhku, agar aku segera menyingkir dari hadapannya. Ia
tengah siap menaiki sepedaku. Entah kenapa saat itu aku tidak bisa menolaknya,
aku hanya mengangguk seolah aku bonekanya. Dan segera menaiki jalu yang ada
disepedaku. Ia mengantarku pulang. Dan itu menjadi hari yang indah dalam
hidupku. Sangat indah. Iya, aku tidak dapat membencinya.
*
Sudah genap 2 bulan semenjak itu,
pertengkaran ku dan Aldo sudah tak terdengar lagi. Bahkan ia sudah bersikap
sangat baik kepadaku. Dan aku berharap ini akan berkelanjutan terus menerus,
sampai akhirnya ‘hari itu terjadi’. Entah mungkin aku berharap lebih darinya,
yang jelas aku senang dengan Aldo yang sekarang. Pagi ini aku mendapati penolakan
kembali dari majalah itu, dan sudah kedua kalinya dengan ini Aldo tidak
meledekku, teman-teman dikelas juga bingung melihat tingkah laku kami,bahkan kami
sempat dituduh berpacaran.
“Gimana Al, ditolak lagi?” Sahut
Aldo yang tiba-tiba menghampiriku. Aku menggeleng melas, “Udah gakusah
dipikirin mereka aja yang enggak ngerti seni”. Aku tersenyum lebar
mendengarnya. Aku tak mengerti kenapa dia jadi seperti ini, padahal ia tak
pernah membaca cerpenku.
Sepulang sekolah, aku segera berlari
ke taman dan menaruh kertas penolakan itu ditempat rahasiaku. Tempat itu dimana
aku menyimpan kumpulan cerpen yang ditolak, bahkan segala rencana dan aturan
yang aku buat,dimana semua orang tidak mungkin mengetahuinya. Menurutku
tempatnya cukup strategis, dibawah pohon besar yang banyak semak-semak tinggi,
disitu aku simpan rapih disebuah kotak musik yang sudah rusak. Hampir setiap
minggu kotak itu penuh dengan kertas-kertas putih yang bertumpuk rapih, hasil
karyaku semua, tapi entah mengapa akhir-akhir ini tumpukan kertas itu menjadi
banyak, hampir setiap minggu bertambah tiga. Untuk sementara aku tidak bisa
memikirkan darimana datangnya semua kertas itu, tapi sudahlah mungkin aku lupa.
Masih banyak hal yang mesti aku kerjakan dibanding memikirkan hal yang tidak
lebih penting dari masalah hidupku sekarang.
*
Matahari seperti tepat berada diatas
kepalaku, aku segera menegak habis es teh manisku, sejak 2 bulan terakhir ini,
aku selalu pulang bersama Aldo menaiki motor mathic hitam miliknya. Dan sudah
tidak diragukan lagi perasaanku padanya, Aku sangat menyayanginya, bahkan lebih
dari seorang teman. Bahkan aku meralat ulang semua cerpen ku menjadi
tentangnya, tentang Aldo.
“Al, itu apa di tangan lo?” Kata
Aldo seketika menarik sebuah binder bertuliskan ‘YOU’ berwarna hitam. Tanpa
mendengar jawabanku, ia segera menariknya dan membuka halaman pertama. “Sejak
kapam lo punya binder...” Katanya, sambil sibuk membaca... Astaga! Cerpen ku,
tentang dia!.
“Aldo, jangan dibaca. Please,” Aku
berusaha menggapai tangan Aldo, bodoh memang. Aku belum mengganti nama tokoh si
‘Aldo’ menjadi nama orang lain. Aku berusaha menggapai binderku dari tangannya,
tapi tubuhnya yang lebih besar dari ku yang membuatku tak sanggup menggapainya
lagi, aku hanya bisa pasrah dan menunggu Aldo mengejekku habis-habisan, atau
mungkin dia akan berkata ‘bagus banget!’ karena terdapat nama dia dalam cerita,
aku tidak habis pikir.
Setelah beberapa
menit, akhirnya Aldo menyudahinya. Ia segera memberi ku kembali binder itu,
tanpa mengatakan apapun, seketika wajahnya yang tadinya ceria mungkin dia yang
tadinya akan bersiap mengejekku menjadi berubah 100%, tatapannya menjadi kosong
dan raut wajahnya seperti sangat tidak suka.
“Tapi gue nggak sayang sama lo al”
7 kata yang
membuatku menjauhi kehidupanku sendiri, menjauhi hobi menulisku.
7 Kata yang
membuatku benar-benar menjauhi kehidupannya.
7 Kata yang
membuatku tidak pernah berbicara lagi dengannya.
7 Kata yang
membuatku sangat membencinya.
*
“Al..” Pria bertubuh kurus tinggi
menghampiri seorang gadis yang menangis memeluk sebuah batu nisan. Ia tidak menyangka
bahwa ‘hari itu terjadi’.
“Ya, ada apa dod?” Balasnya sambil
mengelap airmatanya yang sudah sangat lengket di wajah kuning langsatnya itu.
“Kamu jangan pernah benci Aldo ya,
aldo waktu itu sedih waktu selama 1 bulan dia sakit, kamu gak pernah jenguk.
Kamu pasti kaget ngeliat tumpukan kertas di kotak musik jadi banyak, itu Aldo
yang membalas semua cerpen kamu. Dia sayang kamu al, dia emang udah bertindak
bodoh saat itu. Tapi dia lakuin itu biar kamu sadar dan terus berusaha untuk
membuat tulisan kamu semakin bagus.Sampai akhirnya tulisanmu terbit juga Al.
Aldo adalah satu-satunya orang yang tau tempat rahasia kamu, makanya ia
terkadang suka mengkritik tulisan kamu dan segalanya. Jangan benci aldo al,
Biarkan ia tenang melihat kamu baik-baik saja, biarkan ia tersenyum melihat mu
mengatakan bahwa kamu juga sayang dengannya, sayang melebihi seorang teman”
“M-m-maksud
k-kamu?” Aliya terbata-bata, lanjutnya “Tap-tapi Aldo pernah bilang kalau ia
tidak menyayangi ku”
Dodi memegang
bahu Aliya lembut, teman terbaik Aldo saat itu akhirnya melepas air matanya
yang tepat mengalir diujung matanya yang bulat itu, “Apa gunanya bilang ‘aku
sayang kamu’ tapi kamu tau kalau waktumu sangat sebentar untuk menghabiskan
waktu bersama orang yang kamu sayang? Apa gunanya bilang ‘aku sayang kamu’ dan
membuat orang itu sangat menyayangimu namun pada akhirnya menjatuhkan mu dengan
kematiannya?” Pria itu segera berdiri memberikan sebuah kotak musik berwarna
merah muda yang telah rusak, tanpa berkata lagi dan pergi meninggalkan Aliya.
Kini perempuan
itu memeluk kedua kakinya diatas tumpukan tanah yang kemudian basah, karena
hujan mulai turun dengan sangat deras. Ia menangis sejadi-jadinya, sambil
membuka secarik kertas berwarna merah, yang ternyata terselip ditengah-tengah
kertas-kertas putih yang mulai menguning.
Persahabatan kita bukan diukir diatas pasir,
Yang Akan hilang tertelan ombak.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas kayu
Yang nantinya akan termakan oleh Rayap.
Persahabatan kita juga bukan diukir diatas batu
Yang nantinya akan mengalami pelapukan.
Tapi Persahabatan kita adalah setiap kamu
menghembuskan nafasmu
Dan menariknya kembali, saat kamu merasakan
Hangatnya udara yang memasuki tubuhmu
Saat udara itu menggelitik pori-porimu dan rasa itu
tidak akan ada habisnya.
Dan aku akan menyayangimu seperti udara,
Yang tidak akan tertelan ombak, temakan rayap, atau
mengalami pelapukan.
Itu berarti selama-lamanya. Kamu indah, selalu
indah.
Dan memang itu adanya.
Maafkan aku atas segala kebodohan yang pernah aku
lakukan padamu, karena pasti kamu tahu aku tidak benar-benar mau melakukan itu.
Aku menyayangi mu Aliya, terimakasih telah bertemu
dengan ku dengan senyuman dan aku harap kamu akan berpisah dengan ku dengan
senyuman pula.
***
Comments
Post a Comment